Catatan Perjalanan Tokoh Inspiratif Indonesia!
Pdt. Dr. Soritua Albert Ernst Nababan ( S.A.E. Nababan ) adalah seorang tokoh yang lahir pada tanggal 24 Mei 1933 di Tarutung, Tapanuli Utara. Tepatnya di Rura Silindung sebuah tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Ayahnya bernama Jonathan Laba Nababan ( J.L. Nababan ), dan Ibunya bernama Erna Dora Lumbantobing. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru.
Ayahnya Merupakan Seorang Aktivis.
Memiliki 11 orang anak, ternyata sang ayah sangat fasih berbahasa Belanda, sampai orang-orang menyebutnya ‘Meneer’ atau ‘Tuan’ diawal nama paggilannya. Hal tersebut dikarenakan beliau sekolah di HIS ( Hollandsch-Inlandsche School ) yang merupakan Sekolah Dasar berbahasa Belanda, dengan lama pendidikan 7 tahun.
Setelah Selesai kemudian beliau melanjutkan sekolahnya di HIK ( Hollandsch Inlandsche Kweekschool ) yaitu Sekolah Guru Bantu selama 5 tahun, sebuah sekolah swasta Kristen yang didirikan dan dikelola oleh Gereja Gereja formeerd di Solo dan Surakarta.
Setelah tamat dari HIK , seseorang bisa langsung mengajar di HIS atau Sekolah Dasar. Beliau masuk HIK pada tahun 1921 dan tamat pada tanggal 21 September 1926.
Hal-hal baik yang beliau dapatkan dari sekolah tersebut kemudian ditanamkan kembali kepada anak-anaknya. Seperti kedisiplinan, kebersihan, kerapihan, rajin dalam belajar dan beribadah, serta peduli terhadap orang-orang yang kekurangan.
Tidak hanya menyampaikan melalui kata-kata, bahkan beliau menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari, agar bisa dicontoh oleh anak-anaknya. Seperti mengajar dan mengharuskan membaca Alkitab setiap hari, untuk selalu mendengarkan Firman Tuhan dalam menjalani hidup.
Aktif Dalam Organisasi.
Selain menjalani profesi sebagai Guru, sang ayah juga aktif ikut serta dalam organisasi kepemudaan hingga dihari tuanya. Bahkan dalam sebuah buku yang berjudul “Sebuah Partisipasi” yang ditulis oleh Abednego disebutkan, seorang pemuda bernama Jonathan Nababan adalah Ketua Afdeling Gabungan Perkumpulan Pemuda-Pemudi Kristen di Solo.
Beliau juga pernah memimpin Konferensi Pemuda Kristen se-Jawa yang diadakan di Padalarang, Jawa Barat pada tahun 1927, dan di Kaliurang, Yogyakarta. Konferensi Pemuda tersebut dihadiri oleh wakil-wakil pemuda dari berbagai kota.
Yang kemudian berhasil membentuk komite pusat bagi pelayanan pemuda, dan bertujuan mempersatukan pemuda Kristen Indonesia untuk kemajuan Indonesia. Dalam konferensi tersebut juga dibahas sebuah pokok penting yaitu, “ Peran Pemuda Kristen dalam Pergerakan Nasional “.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Surakarta, sang ayah kembai ke kampung halamannya. Tekadnya kembali untuk mengabdikan diri sebagai Guru di kampung halamannya. Hal tersebut menunjukan bahwa beliau sangat cinta dan peduli pada kemajuan kampong halamannya tersebut. Ia tertarik untuk mendidik anak-anak orang Batak, dan memajukan kehidupan Bangso Batak.
Pada tahun 1939, Jonathan Nababan diangkat menjadi guru Cursus voor Onderwijzers (CVO), sekolah guru jemaat, yang pada saat itu lebih dikenal sebagai Sikola Tinggi Siminari Sipoholon. Sekolah ini banyak menghasilkan orang-orang yang berkualitas, yang belakangan ini bahkan menjadi pejabat tinggi Negara. Seperti Mayor Jenderal A.E. Manihuruk yang pernah menjabat sebagai Kepala BAKN ( Badan Administrasi Kepegawaian Negara ), Theodosius Gultom yang pernah menjadi Direktur Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama.
Guru Dari Seorang Pahlawan Revolusi.
Selama menjadi tenaga pendidik, sang ayah telah banyak membantu banyak putra –putra Batak, yang memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Salah satu anak didiknya adalah Donald Isaac Panjaitan yang lebih dikenal dengan sebutan D.I. Panjaitan yang merupakan salah satu Pahlawan Revolusi Republik Indonesia.
Saat Belanda menduduki Tapanuli, banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan, Namun sekali lagi berkat kefasihan sang ayah dalam berbahasa Belanda dan kecakapannya dalam berdiplomasi karena berprofesi sebagai guru, Ia diminta oleh komandan pejuang di rimba untuk membebaskan para pejuang dari tahanan dan penjara Belanda.
Ia juga diminta untuk memimpin lembaga pendidikan bernama Lembaga Pendidikan Pengetahuan Umum ( LPPU) sebuah lembaga yang membantu para perwira untuk mendapatkan Ijazah SMP dan SMA, setelah kembali dari gerilya di desa dan hutan-hutan. Untuk tugas tersebut iapun akhirnya diberi pangkat Letnan Satu Tituler.
Sang Ayah, J.L. Nababan menghembuskan napas terakhirnya pada bulan Maret 1983. Hingga akhir hayatnya beliau sering memotivasi para penduduk, terutama yang miskin untuk berusaha membantu diri mereka sendiri mengatasi kemiskinan tersebut.
Bahkan selama Jenazahnya disemayamkan dirumah duka, banyak orang-orang berdatangan bahkan dari tempat yang jauh dan tidak dikenal oleh keluarga. Merekalah orang-orang yang selalu di motivasi untuk keluar dari kemiskinan.
Bahkan ada salah seorang yang memberikan testimoni dihadapan Jenazah dan memberikan kesaksian bahwa dirinya pernah ditolong dan dibebaskan dari penjara akibat tidak bisa melunasi kredit, kemudian seorang J.L. Nababan menggadaikan sertifikat rumahnya ke bank untuk membebaskan orang tersebut.
Hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat mengharukan sekaligus membuktikan bahwa sang ayah sungguh berhati mulia.
Sang Ibu Aktif Dalam Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan.
Ibunya bernama Erna Dora Lumbantobing, merupakan seorang puteri bungsu dari Pendeta Jorbert Lumbantobing. Beliau menempuh sekolah guru puteri Normaalschool voor Inlandsche Hulpoderwijzeressen (Sekolah Guru Putri) di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Pada saat itu pendidikan bagi kaum perempuan sangat terbatas, bahkan bagi mereka yang memegang teguh adat, mengirim perempuan ke sekolah adalah hal yang tidak masuk akal.
Beliau merupakan generasi pertama bagi perempuan Batak yang menikmati pendidikan diatas Sekolah Dasar, di luar tanah Batak .
Seteleh tamat dari Normaalschool voor Inlandsche Hulpoderwijzeressen pada tanggal 8 April 1925, ia kembali dan diangkat menjadi Direktris Meisjesschool (Sekolah Perempuan) di Balige, Toba. Sekolah ini merupakan sekolah perempuan pertama di Tanah Batak. Saat itu ia harus berjuang mendatangi rumah-rumah untuk menjelaskan dan menjemput anak-anak perempuan mereka agar mau disekolahkan.
Beliau menikah dengan Jonathan Laba Nababan pada tanggal 24 September 1929.
Selain itu, ia juga pernah memimpin perkumpulan kaum perempuan di Tarutung, yang bertujuan untuk menuntut pengakuan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dan secara terbuka menolak Poligami.
Setelah Indonesia Merdeka beliau juga aktif dalam gerakan kemerdekaan dan menjadi Ketua Persatuan Wanita Repulik Indonesia (Perwari) Siborongborong.
Pada saat pindah ke Pematangsiantar, ia mengajar di SD dan SMP Kristen di Jalan Gereja.
Ketika suaminya pindah kerja di Medan, beliau juga mengajar di SMP Nasrani di Jalan Candi Biara, Medan. Beberapa mantan muridnya sukses seperti Monang Sianipar, Pemimpin MSA Cargo.
Ibunya Mengalami Stroke dan Meninggal.
Pada tahun 1981 saat berkunjung ke Jakarta, Beliau mengalami Stroke dan sebagian badannya megalami kelumpuhan. Dan akhirnya pada tahun 1986 beliau menyerah pada penyakitnya, Beliau meninggal dunia di Siborongborong.
Sebagai Pendidik, beliau sangat pandai bercerita, sebelum tidur ia selalu membacakan hikayat-hikayat terkenal atau dongeng-dongeng yang sangat disenangi anak-anaknya. Dalam cerita itulah Firman Tuhan diselipkan sebagai pelajaran yang berharga bagi anak-anaknya.
” Sesungguhnya, takut akan Tuhan itulah hikmat dan menjauhi kejahatan itulah akal budi”, yang diambil dari Alkitab, Ayub, 28:28.
Baca Juga: https://terakurat.com/film-tentang-tokoh-tokoh-bangsa-indonesia/