S.A.E. Nababan besar di tiga kota yang berbeda , Sigompulon, Sipoholon, dan Siborongborong. Pekerjaan sang ayah sebagai pendidik membuat mereka ikut berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.
Sigompulon merupakan sebuah kawasan perbukitan yang letaknya sekitar 500 meter dari Simpang Empat, Pusat Kota Tarutung. HIS Sigompulon dibangun diatas bukit, tempat dimana ayahnya mengabdi sebagai seorang guru. Sekolah tersebut dibangun dengan tujuh ruangan untuk tujuh kelas dan ada juga asrama untuk para murid yang dibangun diatas perbukitan.
Rumah Guru-guru Belanda Lebih Besar Daripada Rumah Guru-guru Pribumi ?
Rumah untuk guru-guru Belanda dibangun lebih besar dibandingkan dengan rumah guru-guru Pribumi. Ada lima bangunan rumah yang lebih kecil diperuntukkan bagi guru-guru Pribumi dan letaknya sejajar. Ada jalan raya Tarutung-Sibolga yang terjal dibawahnya. Yang menghubungkan rumah-rumah kecil itu dan sekolah dengan jalan raya adalah sebuah tangga batu. Perumahan guru dan sekolah merupakan rumah panggung.
Setiap Sabtu siang biasanya ia duduk-duduk di undakan tangga atas, menunggu ibunya pulang dari pasar (onan) dan berharap sang ibu membawakannya kue limi-limi, kue kesukaannya. (Kue Limi-limi: berupa kelapa dengan gula merah yang dibalut dengan tepung hijau).
Pergaulannya di Sigompulon sangat terbatas, Ia hanya bermain dengan anak-anak penghuni kompleks sekolah, karena masyarakat lainnya tinggal jauh dari sekolah. Ia sempat bermain dengan dua orang anak guru Belanda yang tinggal tak jauh dari tempatnya.
Awalnya ia sangat tertarik melihat buah Jambu yang ada di halaman rumah guru Belanda tersebut, namun ia tidak bisa mendapatkannya. Pada waktu itu, ia biasa memakai sepeda kayu dan meluncur di depan rumah guru Belanda tersebut dan sering diperhatikan oleh anaknya.
Tiba-tiba anak guru Belanda itu ingin meminjam sepedanya untuk bermain, saat itulah ia berdiplomasi untuk melakukan barter. Setiap kali anak guru Belanda tersebut ingin meminjam sepeda, dia selalu datang membawa jambu. Lama kelamaan mereka menjadi akrab, dan ia tidak canggung lagi untuk bergaul dengan orang kulit putih.
Akhirnya ia memahami, bahwa orang kulit putih juga merupakan manusia yang sama. Tidak benar jika orang kulit putih lebih tinggi derajatnya atau lebih pintar dari orang yang berwarna kulit lain. Dan ia juga belajar bahwa ‘apa yang ada pada kita dapat dimanfaatkan untuk memperoleh yang belum ada pada diri kita’.
Pindah ke Sipoholon.
Pindah ke Sipoholon membuatnya harus menempuh perjalanan dari Sipoholon ke Sigompulon pergi dan pulang untuk bersekolah, hal ini dilakukan karena mereka sudah bersekolah di HIS Sigompulon. Saat itu usianya masih 6 tahun.Ayah dan ibunya tidak membiarkan ia dan dua saudaranya untuk tinggal di asrama, biarpun jauh tetap ditempuh demi berkumpul bersama keluarga.
Setiap hari mereka melewati jembatan dari Sungai Sigeaon, Sungai yang berada diatas jalan dan terus mengalir membelah Kota Tarutung. Jika air Sungai meluap dan menutupi semua sawah antara jembatan dan kaki bukit, maka mereka terpaksa membuka pakaian yang mereka pakai dan menjinjingnya di kepala agar tidak basah.
Kematian Sang Adik.
Dan satu peristiwa yang mengguncang keluarganya adalah kematian sang adik David Oeli Maruhum, Si anak kelima yang meninggal dunia pada tanggal 25 Januari 1941, karena menderita sakit radang paru-paru. Hal tersebut membuat ibunya sangat terpukul hingga setiap malam mendatangi makam adiknya diatas bukit yang berjarak sekitar 500 meter rumahnya.
Kedatangan Tentara Jepang Ke Indonesia.
Saat Tentara Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, ia dan keluarganya diminta untuk pindah dengan alasan kehidupan mereka sudah tidak terjamin lagi. Sebelum tentara Jepang tiba di Tapanuli, mereka mempersiapkan diri dan pindah ke Siborongborong yang udaranya sangat dingin.
Diusia remaja ia sempat ingin menjadi dokter, namun ayahnya menginginkannya menjadi seorang Pendeta. Pada tahun 1950 ia diantarkan oleh ayahnya ke Pelabuhan Belawan, Medan. Saat di pelabuhan ayahnya membelikan sepasang sepatu bekas tentara dan kaus kaki wol untuk dipakainya selama studi lima tahun di HThS ( Hoogere Theologische School ). Sepasang sepatu bekas tersebut dibeli ayahnya karena harganya yang murah.
Sekolah Dominee.
Dikalangan HKBP, HThS dikenal sebagai sekolah Dominee, karena menghasilkan pendeta-pendeta yang setara dengan pendeta Belanda yang dipanggil dengan sebutan Dominee. Penahbisan mereka juga dilakukan secara khusus. Hal tersebut untuk menunjukan bahwa kedudukan pendeta pribumi setara dengan pendeta Belanda dan Jerman. Karena kesetaraan itu merupakan kebanggaan tersendiri, namun belakangan hal tersebut berkembang menjadi masalah karena dianggap menciptakan perbedaan kelas di kalangan pendeta.
Kuliah Ditemani Sepasang Sepatu Bekas.
Selama Kuliah di Jakarta, S.A.E. Nababan selalu menggunakan sepatu bekas milik tentara yang dibelikan ayahnya dipelabuhan. Setiap kali ia berjalan menggunakan sepatu itu, orang-orang tahu bahwa ia datang. Derap langkah yang terdengar dari sepatu itu seperti serdadu sedang berbaris, cukup nyaring.
Hampir tiga tahun selama kuliah ia memakai sepatu itu. Namun karena udara di Jakarta yang cukup panas akhirnya ia menyerah. Ia menggantinya dengan sepatu sandal bekas yang ia beli di Pasar Rumput kawasan Manggarai yang letaknya tak jauh dari kampus HThS. Disana juga menjadi tempat favorite para mahasiswa berbelanja karena harganya yang murah.
Studi yang Ditempuh.
Soritua Albert Ernst Nababan lulus dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta pada bulan Februari 1956 dengan predikat cum laude lalu ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 24 Juni 1956 di HKBP Pematang Siantar, Sumatra Utara. Lalu ia melanjutkan studinya di Universitas Rupeto Corola, Heidelberg, Jerman dan lulus gelar Doctor Theologiae pada bulan Februari 1963 dengan predikat cum laude.
Pernikahan.
Sepulang dari menyelesaikan studinya di Jerman, ia didesak oleh orang tuanya untuk menikah karena sudah berusia kepala tiga dan sudah dilangkahi oleh dua adiknya. Pada saat itu jika seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh tahun belum menikah akan di sebut “ Doli-doli Jerman” yang artinya adalah Perjaka Jerman. Jika seseorang sudah mendapat julukan itu maka bisa dikatakan akan sulit mendapatkan jodoh.
Akhirnya ia menemukan seorang wanita bernama Alida Lientje Tobing seorang dosen Fakultas Keguruan dan Dan Ilmu Pendidikan ( FKIP ) IKIP Medan. Ia meraih gelar Magister dari State University of New York di Ganeseo. Alida merupakan puteri seorang guru yang meninggal dunia diusia yang masih muda dan meninggalkan 11 orang anak. Anak-anak tersebut dibesarkan oleh ibunya seorang diri dengan perjuangan yang sangat berat dan hebat.
Alida merupakan adik tertua dari tiga orang temannya yang bersaudara. Ia pun menjatuhkan pilihannya pada Alida. Mereka menikah pada tanggal 8 Januari 1964 di Medan. Setelah menikah mereka berangkat ke Manila, lalu menyewa sebuah Apartemen. Anak pertama mereka lahir di Manila Pada Tanggal 7 Mei 1965 yang diberi nama Hotasi Diosdado Purbatua Nababan.
Kisah Inspiratif ini tertuang dalam buku yang ditulisnya “Selagi Masih Siang” Catatan Perjalanan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan. Pastikan kamu baca bukunya ya…
Baca Juga:https://terakurat.com/catatan-perjalanan-tokoh-inspiratif-indonesia/