Mengenal Sosok ‘Minke’ Dalam ‘Bumi Manusia’.
Mengenal Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.
Namanya adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, Beliau lahir di Blora pada tahun 1880–1918. Merupakan seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis wartawan dan surat kabar nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Ia juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Keberanian Sang Pelopor Jurnalistik.
Tirto merupakan orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Karena hal tersebut Tirto akhirnya ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa lalu dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pengasingan, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Kisah perjuangan hidup Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Takashi Shiraishi menuliskan pandangannya terhadap Tirto lewat buku Zaman Bergerak, ia menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.
Turut Menjadi Bagian Dari Sarekat Dagang Islam.
Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, juga merupakan asal mula Sarekat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia.
Anggaran Dasar Sarekat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarekat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.
Kekaguman Banyak Orang Terhadap Tirto.
Ki Hajar Dewantara.
Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara juga pernah mencatat tentang Tirto Adhi Soerjo sebagai berikut:
“Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.”
Sudarjo Tjokrosisworo.
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani:
“Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan,” tulis Tjokrosisworo.
Pramoedya Ananta Toer.
Sosok Minke dalam buku ‘Bumi Manusia’ ini pun diceritakan oleh Pramoedya Ananta toer, yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dan dibintangi oleh Iqbal Ramadhan.
Kematian Tirto di dalam Sebuah Kamar Hotel Miliknya, Sebagai Tahanan Rumah.
Hingga pada akhir pekan pertama bulan ke-12 pada 1918, Tirto mengembuskan nafas terakhir. Ia kembali ke Sang Khalik dalam kesendirian dalam usia muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen itu dengan sendu saat memulai pengisahan riwayat Tirto dalam Sang Pemula.
“Akhir seorang pemula pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberikan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian orang meninggalkannya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkan,” tulis Pram.
Bapak Pers Nasional.
Pram menyebut Tirto sebagai “Bapak Pers Nasional”, pemerintah lewat Dewan Pers turut memberi pengakuan dengan menyematkan gelar “Perintis Pers Indonesia” yang diberikan Menteri Penerangan cum Ketua Dewan Pers Mashuri Saleh pada 31 Maret 1973 lewat Surat Nomor 69/XI/1973.
Di tahun yang sama, tepatnya 30 Desember 1973 makamnya di Manggadua dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berselang kurun 33 tahun, nama Tirto diakui lebih luas dengan dianugerahi status “pahlawan nasional” oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya 10 November 2006 bersamaan dengan Hari Pahlawan.
Garis Keturunan Tirto.
Tirto lahir dengan nama Raden Mas Djokomono. Ia anak kesembilan dari 11 bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan (EYD: Khan) Tirtodhipoero. Saat Tirto lahir ia masih berkarier sebagai pegawai kantor pajak, di mana kelak ia juga akan jadi bupati. Sebagaimana diuraikan di atas, sampai kini belum diketahui siapa nama ibunya.
Hanya diketahui kemudian ia berganti nama sejak masa muda, di mana lazim dilakukan priyayi zaman itu menjadi RM Tirto Adhi Soerjo. Sisanya, riwayatnya hanya diketahui ia merupakan cucu Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Rajegwesi, Karesidenan Rembang. Sebelum 1827, Rajegwesi merupakan sebutan Bojonegoro.
Keturunan Pangeran Samber Nyawa.
Ia juga diketahui sangat dekat dengan neneknya, Raden Ayu Tirtonoto yang masih keturunan (cucu) Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa. Masa belia dihabiskan Tirto bak nomaden. Mulanya ia diasuh neneknya semasa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Bojonegoro. Lantas sepeninggal sang nenek, Tirto ikut sepupunya, RMA Brotodiningrat ke Madiun.
Belum juga ia tamat ELS, sudah pindah lagi ke Rembang diasuh salah satu kakaknya, RM Tirto Adhi Koesoemo yang jadi kepala jaksa di sana. Baru pada usia 14 tahun selepas lulus ELS di Rembang, ia merantau ke Batavia untuk melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).
Meski tak sampai lulus di STOVIA, benih-benih gagasan Tirto soal perlawanan penindasan mulai merekah lewat media. Sehingga ia juga harus menghadapi tuntutan jaksa di pengadilan.
Namun berkat statusnya sebagai bangsawan yang ternyata masih ada hubungan kekerabatan dengan priyayi di Kasunanan Surakarta dan Panembahan Madura, ia berlindung di balik Forum Privilegiatum, di mana setidaknya ia tak bisa divonis hukuman fisik. Sepahit-pahitnya ia diasingkan.
Kisah Cinta Sang ” Perintis Pers Indonesia “.
Kemungkinan besar Tirto menikahi Siti Suhaerah setelah mendirikan surat kabar mingguan Soenda Berita di Cianjur, 1903, di mana pers pribumi yang berkantor di sebuah desa itu terbit perdana 7 Februari 1903. Suratkabar itu beredar hingga ditutupnya pada 1906.
Di antara tahun-tahun itu, Tirto menikah lagi dengan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, bangsawan yang urun dana dalam operasional Soenda Berita. Dari garis istri Siti Habibah, Tirto tercatat punya dua anak: RA Julia dan RM Hasan Busono, serta sembilan cucu.
Pram juga mencatat bahwa dalam kurun 1905-1906, Tirto berkelana sampai ke timur Nusantara, tepatnya Pulau Bacan di Kepulauan Maluku. Di pulau ini dan sekiranya dalam kurun itupula ia mempersunting Fatima.
Ia adik dari Sultan Oesman Sjah, Sultan Bacan yang baru dinobatkan pada 1900 menggantikan ayahnya, Sultan Mohammad Sadik Sjah. Dari Fatima, ia punya satu anak, RM Sadar alam dan lima cucu.