Saat kembali ke Tanah Air, Soritua Nababan (S.A.E Nababan) dihadapkan pada situasi politik yang sedang memanas , di tengah puncak revolusi. Soritua tetap ingin bekerja dan terus melayani dalam keadaan apapun. Kembalinya Soritua ke Indonesia meskipun dalam keadaan yang sedang kacau, didorong oleh pengalamannya saat melaksanakan kegiatan rapat staf di Jaffna, Sri Lanka.
Saat itu, ia di tempatkan di ashram, sebuah asrama tempat retret agama Hindu. Ia tidur dalam gubuk-gubuk sederhana dan hanya berlantai tanah yang dialasi tikar. Makanpun ala kadarnya menggunakan tempurung kelapa. Mereka juga hidup dengan fasilitas yang sangat minim. Hal tersebut mengingatkannya saat melayani beberapa gereja di Asia, bahwa sebagian besar masyarakat Asia masih hidup dalam kesederhanaan dan kemiskinan.
Pada bulan-bulan pertama tinggal di Jakarta, Ia menempati rumah bekas misionaris Amerika yang sudah pulang ke negaranya, karena keadaan di Indonesia yang kurang kondusif saat itu.
Tidak lama ia tinggal disana, kemudian ia pindah ke Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu, ia merasa beruntung kembali ke Indonesia, karena dapat langsung mengikuti perkembangan politik di tanah air.
Pada akhir Juli 1965, ia dan keluarga mendaftakan diri menjadi warga jemaat HKBP Kebayoran Baru, Jakarta. Pada masa itu, situasi dan kondisi secara umum sangat menegangkan.
Kondisi Politik di Indonesia yang Semakin Memanas!
Saat itu, kondisi politik sudah sangat memanas. PKI ( Partai Komunis Indonesia ) secara terang-terangan mengadakan pertemuan-pertemuan besar. Baik pertemuan kaum buruh dan tani, maupun pertemuan golongan-golongan profesional lain yang berafiliasi dengan PKI . Mereka mendukung revolusi yang terus menerus dicanangkan oleh Soekarno. PKI juga menuntut Presiden Soekarno untuk menyingkirkan seluruh kekuatan yang dianggap antirevolusi.
Berbeda dengan pihak militer yang tidak menyukai pengaruh PKI yang semakin menonjol. Konsep Nasakom ( Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diciptakan oleh Presiden Soekarno untuk mempersatukan bangsa Indonesia tidak disambut dengan baik, karena militer tidak dimasukkan didalamnya.
Keluarga Terakhir yang Ditemui Oleh D.I Panjaitan Sebelum Tewas Tertembak.
Pada tanggal 28 september 1965 malam, Persatuan Insinyur Indonesia, yang juga sudah dikuasai oleh PKI mengadakan rapat besar di Istora Senayan. Aidit, Sekjen PKI saat itu, dan Presiden Soekarno hadir sebagai pembicara utama, Pertemuan mereka disiarkan langsung oleh RRI.
Pada malam yang sama, Brigjen D.I. Panjaitan bersama istrinya berkunjung ke rumah Soritua Nababan di Kebayoran baru Jakarta Selatan, kali ini tidak seperti biasanya, mereka lebih banyak membicarakan tentang kerohanian. Brigjen D.I. Panjaitan juga bercerita bahwa setiap kali dirinya bertugas ke luar daerah dan bertepatan pada hari Minggu, ia selalu menyempatkan diri untuk mencari Gereja dan mengikuti kebaktian setempat. Setelah beribadah dia merasa lega dan siap untuk bertugas kembali.
Malam itu D.I Panjaitan juga menceritakan tentang rencananya untuk belajar ilmu Teologi, jika ia memiliki waktu senggang dan meminta Soritua untuk membantunya. Saat itu Brigjen D.I. Panjaitan menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staff Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani. Soritua juga sempat menyarankan pada sahabatnya itu, agar lebih berhati-hati, bahkan jika perlu menambah pengawal dirumahnya untuk memperkuat penjagaan.
Pesan itu disampaikan berdasarkan nalurinya sebagai seorang sahabat, yang khawatir melihat situasi dan kondisi yang sedang memanas. Ia mengikuti isu-isu yang beredar di Radio dan Media Cetak mengenai situasi politik pada saat itu. Karena itulah Soritua Nababan mempunyai firasat akan terjadi konflik antara PKI dan TNI. Namun D.I Panjaitan mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena TNI menguasai keadaan.
D.I Panjaitan dan istrinya meninggalkan rumah Soritua Nababan sudah lewat tengah malam. Pertemuan itu cukup lama dan menjadi waktu perbincangan terlama yang pernah mereka lakukan bersama. Ternyata itu menjadi malam terakhir mereka bertemu. Keluarga Soritua Nababan merupakan keluarga terakhir yang ditemui oleh D.I. Panjaitan sebelum ia tewas tertembak secara biadab oleh PKI.
Perkenalan Dengan Diapari Gultom dan Kolonel Sumitro.
Soritua Nababan dan D.I Panjaitan memang sudah lama berhubungan baik, perkenalan mereka bermula pada saat Brigjen D.I. Panjaitan menjadi Kolonel dan bertugas sebagai atase militer di Kedutaan RI di Jerman. Brigjen D.I. Panjaitan juga pernah mengutusnya untuk mendekati Partai Buruh di Belanda. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui sikap partai tersebut tentang masalah Irian.
Persahabatan mereka pun berlanjut di Jakarta. Dari D.I Panjaitan, ia berkenalan dengan Diapari Gultom saat masih di Jerman. Diapari Gultom sangat banyak membantu orang Indonesia yang berkunjung ke Jerman, yang terdiri dari para pengusaha, orang yang ingin melakukan studi lanjutan atau studi banding , baik dari sipil dan militer. Diapari Gultom merupakan orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang Kota Dusseldorf, mempunyai relasi yang sangat luas dan pribadi yang ramah.
Dari Diapari Gultom , Soritua berkenalan secara pribadi dengan Kolonel Soemitro, yang merupakan seorang Jenderal yang diangkat menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ( Kopkamtib ) pada masa Orde Baru.Lembaga ini sangat ditakuti di masa Orde Baru. Saat itu Soemitro sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan militer di Hamburg. Biasanya setiap akhir pekan Soemitro datang ke Dusseldorf.
Darah yang Tumpah di Halaman dan Kematian Sang Jenderal.
Firasat Soritua Nababan tentang konflik PKI dan TNI benar-benar terjadi. Pagi-pagi sekali pada tanggal 1 Oktober 1965 tersiar kabar bahwa beberapa Jenderal telah ditangkap, karena dituduh akan mengadakan kudeta. Nama-nama Jenderal yang disebutkan termasuk Brigjen D.I Panjaitan.
Saat itu juga Soritua langsung pergi ke rumah D.I Panjaitan, sesampainya di pekarangan rumah D.I. Panjaitan, ia disambut dengan tumpahan darah segar yang berceceran di tanah. Kemudian ia berlari ke dalam rumah, didapatinya istri dan beberapa anak D.I Panjaitan yang berkumpul di kamar tidur, di lantai dua.
Senjata Yang Tidak Berfungsi.
Istri D.I Panjaitan bercerita, senjata yang ada di dekat tempat tidur mereka tidak berfungsi. Suaminya dipaksa turun ke lantai bawah menggunakan tembakan dan langsung didorong ke luar rumah. Seorang yang datang dari depan menembaknya dan meninggalkan tumpahan darah di halaman.
Belakangan diketahui juga bahwa seorang bere ( Anak dari Saudara perempuannya ) juga ikut ditembak mati di belakang rumah. Saat itu, Soritua ( S.A.E Nababan ) memberikan penghiburan dan doa, ia mengajak keluarga untuk berserah ke dalam tangan Tuhan, meskipun ia yakin sangat kecil kemungkinan Brigjen D.I. Panjaitan masih hidup. Namun ia mencoba menguatkan keluarga D.I Panjaitan terutama istrinya untuk menerima bahwa “hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Roma 14:8b).
Penghormatan Terakhir.
Beberapa hari setelah insiden tersebut, Jenazah para Jenderal yang diculik dan dibunuh berhasil ditemukan di kawasan Lubang Buaya. Menurut berita, jenazah para jenderal dimasukkan ke satu sumur yang dijadikan tempat akhir pembuangan . Sebelum dikuburkan secara resmi, Jenazah D.I Panjaitan dibawa ke Gereja HKBP Kebayoran Baru. Seluruh jemaat secara resmi memberangkatkan jenazah dalam kebaktian khusus. Sesudah itu baru diserahkan kepada TNI.
Iring-iringan Jenazah para Jenderal di sambut oleh ribuan orang yang turun ke jalan untuk memberikan penghormatan terakhir. Sejak peristiwa G30S, TNI berusaha menguasai keadaan.
Namun pada saat yang sama terjadi pembunuhan secara besar-besaran di berbagai daerah. Banyak korban yang terbunuh dan orang-orang ditangkap tanpa melalui proses hukum. Bahkan banyak juga yang dibuang ke Pulau Buru, Maluku.
Peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Indonesia.
Baca Juga: https://terakurat.com/catatan-perjalanan-tokoh-inspiratif-indonesia/
Baca Juga:https://terakurat.com/kisah-s-a-e-nababan-merajut-impian-dengan-sepasang-sepatu-bekas/